“ WASIET
ABDULLAH SYAFI'I “
Oleh : Tgk Diyueb Bruek/Sulaiman.A.Gani
Alhamdulillah ,Allah lon
pujoe
Peujuet Alamnyoe,langet ngoen
Donya
Bandum lat batat, Dum isi
Bumoe
Sit Tuhan Sidroe, Yang
that kuasa
Seulawuet saleum, pih hana
tuwoe
Pang ule nanggroe, khatam Ambiya
Yang bri syafaat, oh
uroe dudoe
Bandum geutanyoe, Blang
Padang masya
Samboet lon lon, Rahmat
Meukatoe
Lakoe ngoen Binoe, Tuhan
ngoen Muda
Dalam Grup Muprang, Bundum
Sinaroe
Hana bak lonnyoe, meubeda
beda
Hajat lon peugah, saboeh hareutoe
Masa mantoeng droe, Geumat
Kuasa
Yoeh mantoeng komplik, Aceh
lhe sagoe
Masa lam nanggroe, juet
haru hara
Abdullah Syafi'i , Yang mat
keumudoe
Panglima nanggroe, Acheh sumatra.
Yoeh Gohlom syahid ,Panglima
Nanggroe
Hana legenyoe, Geutanyoe Rasa
Nama meusyuhu,
rata jeut sagoe.
Troek lua nanggroe, Gob Turi
Nama .
Leumpah That Ade, Geumat keumudoe
Geupimpin kamoe, Bandum TNA
Gobnyan jak Ukue, kon yue
geutanyoe
Sampoe Syahid Droe, lam seuh
prang Raya
Bak masa syahid, Panglima
Nanggroe
Sit Meuhat lhe droe,
Nyan urueng jaga
Kon lage jinoe, ka Aman
nangroe
Tapi reutoh droe, jaga
Panglima
Han ek Tapike, lagenyan bagoe
Meuhat keu pruet Droe, yang na jikira
Astaufirullah, Lidah meucawoe
Karoeh lon muproe, hoe laen
haba
Abdullah Safi’i, kisah
tapuwoe
Wasiet geumeuproe, Meunoe ban
haba
Wate Meuhase, singoeh saboeh roe
Meubek ulonnyoe, meutame rasa
Lon takoet that that,
Acehnyoe kasyoe
Hana soe pakoe , keu anuek
Bangsa
Yang na jipike , meuhat
keupruet droe
Hana soe Hiroe, Aneuk
Syuhada
Yatim piatu, hana soe jipakoe
Hana soe hiroe, Janda Syuhada
( Tgk Diyueb Bruek,tgl
01/02/2013)
Wasiat Terakhir Abdullah
Syafie
==========================================
"...Jika pada suatu hari
nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa
sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar
mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin
memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka...".
Itulah wasiat terakhir
Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata
di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie. Wasiat
yang dibuat sebulan sebelum ia meninggal, seolah firasat Syafei bahwa
kematiannya memang telah dekat. Namun, jauh sebelum Tengku Lah --begitu ia
biasa disapa-- tewas, ia telah menulis pesan agar kematiannya tidak ditangisi,
apalagi diratapi. Sebab, perjuangan kemerdekaan negeri Aceh Sumatra belum
tuntas dan kematian dirinya adalah syahid.
Tengku Lah adalah pemimpin
sayap militer GAM yang sangat berpengaruh. Lebih dari 20 tahun ia memimpin
gerilya GAM dari kawasan Bireun, yang dikenal sebagai markas GAM. Tengku Lah
dikenal sebagai pribadi yang tegas dan sopan. Ia juga dikenal sangat santun dan
bersahaja. Di mata aktivis GAM, Syafei adalah sosok yang humanis dan
antikekerasan. Itulah sebabnya, berulang kali Syafie menegaskan bahwa
perjuangan bersenjata tak lebih dari upaya mempertahankan diri dari serangan
Tentara Nasional Indonesia.
Tengku Lah memang tak pernah
dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat pendidikan tempur
di Libya, seperti yang diperoleh Muzakir Manaf, sosok yang diusung GAM
menggantikan Syafei. Tengku Lah hanya seorang berkepribadian sederhana yang
dilahirkan di Desa Matanggeulumpang Dua, 45 kilometer sebelah barat
Lhokseumawe, Aceh Utara. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri
Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama
di sejumlah pesantren.
Uniknya, masa muda Syafei
ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup Jeumpa. Ia
kerap berperan sebagai wanita dalam setiap pementasan. Itulah sebabnya, sejak
muda rambut Syafei selalu tergerai. Perkenalan Tengku Lah dengan dunia militer
terjadi pada awal 1980-an. Ia bergabung bergabung dengan GAM kelompok Hasan
Tiro. Meski begitu, keramahan dan kesantunan Syafei tak pudar. Ia terus
menjalin komunikasi rakyat Aceh, yang memang sangat dekat dengan dirinya.
Sikap ramah, santun, dan
hangat ini diperlihatkan ketika Syafei dengan begitu akrab bertemu dengan
sejumlah komponen masyarakat dan wartawan. Sekretaris Kabinet di era Presiden
Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, dan artis Cut Keke adalah dua di antara
tokoh yang pernah Syafei temui. Bahkan, ketika TNI mengklaim telah menembaknya
hingga sekarat, Maret 2000, Syafei dengan santai malah mengundang reporter SCTV
Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah Hutan Pasee.
Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli Tobing
untuk melihat kondisi terakhir Syafei yang saat itu ternyata dalam kondisi
sehat walafiat.
Setiap gerak Syafei memang
layak "disantap" pers. Ia dianggap tokoh penting untuk menyelesaikan
konflik Aceh yang telah berlarut-larut dan berdarah-darah. Namun, sebelum
Serambi Mekah aman dan kemerdekaan Aceh masih menjadi mimpi bagi sebagian
anggota GAM, Tengku Lah keburu tewas. Ia meninggal begitu dramatis; bersama
Fatimah, istrinya yang tengah mengandung enam bulan, dalam keyakinan menjadi
syahid.(ULF/Tim Liputan 6 SCTV)
Dihormati Kawan Disegani
Lawan
Subuh hampir menjelang ketika
serombongan orang berjalan kaki sambil mengusung empat keranda dalam pekat
malam. Di posisi paling depan, seorang lelaki menjinjing petromaks sebagai
penerang jalan. Seratus meter dari sana, sejumlah laki-laki masih menggali
lubang kubur berukuran 3 x 2 meter.
"Tolong ambil timba, semua
air harus dibuang,” ujar seorang lelaki meminta untuk menguras air yang
memancar di dalam lubang yang baru saja digali.
“Tanah yang di ujung sana,
digali sedikit lagi,” seorang lelaki lain menimpali.
Pada malam menjelang subuh
itu, 25 Januari 2002, isak tangis dan salawat bergema di Desa Cubo, Kecamatan
Bandar Baru, Pidie Jaya. Salah satu keranda yang diusung adalah Panglima
Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafie. Ada juga istrinya
Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku Daud Hasyim dan Teungku Muhammad
Ishak. Mereka tewas akibat kontak senjata antara GAM dan TNI tiga hari
sebelumnya, di Desa Sarah Panyang Jiemjiem, sekitar empat kilometer dari Blang
Sukon.
Tanpa dimandikan, keempat
jenazah itu lalu dimakamkan dalam satu liang. Pemakaman berlangsung sederhana.
Tak ada simbol-simbol GAM seperti bendera atau letusan senjata api sebagaimana
lazimnya penguburan seorang panglima militer. Tak ada pula petinggi GAM lain di
sana.
Masyarakat setempat mengenang
Abdullah Syafie sebagai sosok ramah dan bersahaja. Itu sebabnya, tiga warga
desa yang terletak 35 kilometer di selatan Kota Sigli itu sempat pingsan, tak
kuasa menahan haru. “Saya belum pernah menemukan seorang pemimpin yang begitu
dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,” ujar pria separuh
baya yang namanya tidak mau disebutkan.
Pria yang akrab disapa
Teungku Lah itu tak hanya disenangi kawan, tapi juga disegani lawan. Letkol
Infanteri Supartodi yang ketika itu menjabat Komandan Distrik Militer (Dandim)
0102 Pidie mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik. Tapi karena
ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar Supartodi.
Abdullah Puteh yang ketika
itu menjabat Gubernur Aceh juga memuji sosok Tengku Lah. Menurut Puteh, ia
adalah pemimpin yang sudi diajak berdialog dan berpikiran modern. Itu terbukti
ketika Teungku Lah menerima Bondan Gunawan, Sekretaris Negara yang diutus
Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Maret 2000. Pertemuan itu berlangsung pada
sebuah jambo di sawah pinggir hutan dalam suasana akrab dan penuh canda, tanpa
pengawalan ketat. Bahkan, sejumlah televisi dalam dan luar negeri menyiarkan
pertemuan itu secara langsung.
"Saya menganggap Tengku
Lah sebagai saudara, bukan musuh," kata Bondan sesudah pertemuan itu.
Bondan bahkan menaruh foto dirinya dengan sang Panglima AGAM di meja kerjanya.
"Itu potret saudara saya," ujar Bondan kepada Nezar Patria dari TEMPO
yang menemuinya seusai bertemu Teungku Lah.
Meski mengaku pertemuan itu
hanya sebagai silaturahmi biasa, namun sesungguhnya Bondan menyampaikan pesan
Gus Dur untuk meretas jalan damai bagi konflik Aceh. Tertembaknya Teungku Lah
sempat membuat jalan menuju damai kian berliku. Pertemuan yang sudah dirancang
berlangsung pada 3 Februari di Jenewa, Swiss, tak berjalan mulus. Pihak GAM
keberatan bertemu. "Selama ini, kami sudah berupaya melakukan diplomasi,
tapi selalu dibalas dengan peluru," kata Sofyan Daud, juru bicara GAM
ketika itu.
Sembilan tahun telah lewat.
Tak ada lagi perang yang membuncah. Tiga tahun setelah Teungku Lah tertembak,
pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai di Helsinki,
Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perjanjian yang dikenal dengan MoU Helsinki
itu sekaligus mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun.
Setelah damai datang, kuburan
Teungku Lah ramai dikunjungi orang. Mulai dari masyarakat biasa hingga mantan
petinggi GAM. Bahkan, Wali Nanggroe Tengku Hasan Tiro pun sempat berkunjung ke
sana saat kembali ke Aceh pada Oktober 2008.
0 komentar:
Posting Komentar