Pages


Minggu, 31 Maret 2013

“ DOA KEU TGK ABDULLAH SYAFI’I “


============================================
Ilaa hazdratin Nabi yil Mushthafaa saiyidil mursaliin,Shumma iLaa rhuuhil ambiaa wa iLa arwahil 'ulama wa syuhadaa I wasshaalihiin Shumma ILaa arwaahil khusuushan Abdullah bin Syafi'i Syai Unillahilahum ajma'iiin ALFaaatihah*

Alhamdulillah, Pujoe Tuhanku
Rahmat meutabu, Ateuh rhueng Donya
Sigala pujoe, Milek Tuhanku
Bukon hai tungku, nyan milek Hamba

Seulawuet saleum, ohlhuehnyan laju
Akan Penghulu, Rasul Mustafa
Lhuehnyan saleum lon, yang karang buhu
Barat ngoen Timu, Bandum Anggota

Anggota Grup Muprang, Bandum lon tuju
Hana hai Tungku, bak lon meubeda
Nibak malamnyoe, Hajat sigeutu
Lon ajak Tungku, keunang Syuhada

Tajak u jiem jiem, jalan roet paru
Hajat tasawue, Kubu Syuhada
Abdullah Syafi’I, disinan Kubu
Khendak Tuhanku, Syahid Panglima

Anuek Peurumoeh, meulhee ngoen Tungku
Disinan kubu, Syahid Panglima
Neulitueng jaroe , Fatihah laju
Neuniet keu Tungku, Geupeutroek pala

Ya Allah Neubri, Beuluwah Kubu
Keupada Tungku, deungoen keluarga
Keunan neupeutroen, Nikmat neutabu
Keunan neusibu, nikmat Syuruga

Pintoe Syuruga, buka keu Tungku
E ya Tuhanku, Hisap bekle na
Pahala Syahid, neubri keu Tungku
Beureukat Kunhu, Fatihah meubaca
( Tgk Diyueb Bruek ,tgl 2/02/2013 )
Ziarah ke Makam Teungku Lah
===============================
Makam Teungku Abdullah Syafie dijaga sendirian oleh perempuan paruh baya berusia 73 tahun. Perempuan tua itu terbungkuk-bungku menyapu halaman lantai sebuah balai yang terletak tepat di belakang rumahnya. Posisi rumahnya tak jauh dari meunasah Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Nek Teh, Mertua Teungku Lah

Puteh Binti Abbas, demikian nama perempuan 73 tahun itu. Ia biasa dipanggil Nek Teh. Dialah mertua almarhum Teungku Abdullah Syafi’ei, Panglima AGAM yang akrab disapa Tgk Lah. “Selama ini, Nek Teh sendirian yang merawat makam Teungku Lah,” kata Usman Basyah, 35 tahun, warga Desa Blang Sukon kepada The Atjeh Post, Kamis 1 September 2011.

Nek Teh mulai membentangkan tikar di balai beratap seng. “Balai ini dulunya berada di sana,” kata Nek Teh sembari menunjuk ke arah dekat empat makam yang berdampingan. Ketika makam mulai dipugar, balai pun harus pindah tempat.

Makam tersebut adalah makam Teungku Lah, istrinya, Fatimah, dan makam Muhammad Bin Ishak serta Teungku Muhammad Daud Bin Hasyim, keduanya pengawal Teungku Lah. “Beliau-beliau itu meninggal dalam kontak tembak di Alue Mon, kawasan pertanian padi,” kata Usman Basyah. Nek Teh mengangguk. Alue Mon, kata Usman, juga berada dalam Kemukiman Cubo.

Usman Basyah bilang, selain Muhammad dan Teungku Daud, ada tiga anggota GAM lainnya, meninggal dalam kejadian yang sama pada hari Selasa. “Tiga anggota GAM itu dikubur di kampung kelahirannya masing-masing,” kata Usman. Nek Teh kembali mengangguk. “Hanya dua pengawal Teungku Lah yang selamat dalam insiden itu,” katanya.

Usman tak ingat kapan persisnya pertistiwa itu terjadi. Namun, dari catatan yang ada, Teungku Lah bersama istri dan para pengawalnya meninggal dalam pertempuran pada Selasa 22 Januari 2002.

Tepat di ujung makam Teungku Lah, tampak sebuah guci kecil berselimut jaring warna ungu. “Dulu makam ini hanya dipagari dengan kayu setinggi leher orang dewasa. Itupun dibuat atas permintaan saya supaya tidak masuk hewan mengotori makam,” kata Nek Teh.

“Pagar makam Teungku Lah, dulunya sangat memprihatinkan, sama sekali tidak layak,” sambung Usman.

Pagar makam itu, kata Usman, akhirnya dirobohkan setelah datang mantan kombatan yang saat ini menjadi Bupati Aceh Jaya. Dia adalah Azhar Abdurrahman. “Beliau (Azhar Abdurrahman) menangis saat melihat kondisi makam Teungku Lah,” kata Usman. Nek Teh mendukung penjelasan Usman.

Azhar Abdurrahman bukan sekadar menangis. Sang Bupati Aceh Jaya itu berinisiatif memugar makam panglimanya dengan bangunan yang lebih layak. “Awalnya, rencana Pak Bupati Azhar itu mendapat penolakan dari pihak GAM wilayah Pidie. Alasan mereka, biar orang di daerah ini (Pidie-Pidie Jaya) yang memugar makam Tgk Lah,” kata Nek Teh. Giliran Usman yang mengangguk.

“Lalu, anggota GAM dari Matang Glumpang Dua Bireuen (daerah kelahiran Teungku Lah) yang datang bersama Pak Bupati Azhar langsung menyatakan dengan tegas, biar Azhar yang memugar. Sebab sudah sekian lama tidak ada yang memberi perhatian untuk makam Teungku Lah,” tambah Nek Teh.

Pada Juni 2011, Bupati Azhar Abdurrahman merealisasikan rencananya itu. Sekarang, makam Teungku Lah sedang dipugar. Tiang beton berdiri kokoh menopang kerangka atap. Luas bangunan tersebut 8 x 12 meter. “Mulai dibangun sekitar sebulan lalu,” kata Nek Teh, diiyakan Usman.

Sebelah timur bangunan makam Teungku Lah, ada balai. Di belakang balai terdapat hamparan sawah. Sebelah barat makam tampak rumah-rumah warga. Di bagian utara, ada kebun kakao. Sedangkan sebelah selatan makam, rumah almarhum Teungku Lah yang saat ini ditempati Nek Teh.

Tepat di samping kanan depan bangunan makam, terpampang papan informasi. Tertulis di papan itu, “Kru Seumangat Ateuh Pembangunan Makam Al Syahid”. Di bawah kalimat itu ada gambar Teungku Lah yang memakai seragam loreng lengkap dengan baret hijau. Di bawah gambar tersebut, tertulis, “Panglima Prang Acheh Tgk Abdullah Syafi’ei”.

Menolak Dibangun Rumah Mewah

Alm. Abdullah Syafie

Teungku Lah telah tiada. Sembilan tahun berlalu. Namun karakter sosok Panglima Angkatan GAM kelahiran Matang Glumpang Dua, Bireuen itu masih melekat erat dalam ingatan warga Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Desa Blang Sukon berjarak sekitar tujuh kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Keude Paru, Kecamatan Bandar Baru. Saat ini jalan penghubung Keude Paru ke Desa Blang Sukon telah beraspal. Suasana kawasan perbukitan itu teduh, nyaman. Pepohonan di pekarangan rumah warga tampak rindang.

Sebagian rumah berkonstruksi permanen. Dari bangunannya bisa dipastikan rumah-rumah itu belum lama dibangun. Sisanya, masih rumah-rumah berkonstruksi kayu, peninggalan masa lalu, termasuk rumah almarhum Teungku Lah.

“Suatu waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun rumah beliau, rumah besar. Tapi Teungku Lah menolak,” kata Usman Basyah.

Kata Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “Meunyoe mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya)”.

Makanya, Usman melanjutkan, sampai Teungku Lah meninggal, rumahnya masih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.

Semasa memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. Teungku Lah langsung bertanya, “Uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang menjawab, “Uang untuk nanggroe”.

Mendengar itu, Teungku Lah menyatakan, “Kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan GAM) jangan kasih ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.

“Begitulah sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah. Nek Teh membenarkan.

Usman Basyah bilang, “Meunye mantong na droe geuh Teungku Lah, mungken Aceh uroe nyoe ji-oh leubeh jroh (kalau masih ada Teungku Lah, mungkin Aceh hari ini jauh lebih baik)”.

Dalam pandangan Usman Basyah, Nek Teh dan warga lainnya, Teungku Lah betul-betul seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin.

Tak heran, banyak kalangan di Aceh merindukan sosok pemimpin seperti Teungku Lah. Bahkan teramat rindu.[]
***
Sumber :
Read more: http://www.atjehcyber.net/2011/09/kisah-panglima-prang-menolak-hidup.html#ixzz1l0tEnu4x
Kisah Panglima Prang Menolak Hidup 


0 komentar:

Posting Komentar

Komentar FB :