Pages


Sabtu, 04 Mei 2013

BEK TUWO KEU ADAT/BUDAYA BANGSA



Oleh : SULAIMAN.A.GANI
=====================================
Asalam'alaikoem , Warahmatullah
Jaroe dua blah, Ateuh jeumala
Saleum loen peu ek, lon rawi kisah
Gantoe droe lon sah, sawue syedara

Gantoe lon intat, kupi saboeh glah
Nyoepat Naseukah, neucuba  baca
Nibak kalinyoe, loen rawi kisah
Kalam sipatah , sira meuseunda

Dicoeng bak kulu,  di meusu  siwah
Dicoeng ba nawah, meusu  cempala
Puncak geureutee , lam laoet siblah
Pandangan indah , siteuntang mata

Bukoen le sayang , Si aneuk gajah
Lam gle  seulawah,  diroet on capa
Budaya Aceh , Beugoet Tapapah
Bek Sampe Punah,  Keuneubah Syuhada

Barat ngoen timu,  saban tapapah
Ingat meutuwah , rugoe binasa
Nyan keuh peusan loen,  kalam sipatah
Wasiet peuneugah, Harapan bangsa

Pusaka indatu, yangka geukeubah
Beugoet tapapah, tapadu bawa
Bek sampe gadoeh, tansoe seuleuah
Bek sampe punah, tansoe usaha

Meumada ohnoe, wasiet lon peugah
Loen l akee meuah, bek juet keu dosa
Meu ah bak sahabat, Ampon bak Allah
Wasie lon keubah, beujuet peunawa

BEK TUWO KEU ADAT/BUDAYA:
=======================================================
KEGIATAN MASYARAKAT SEHUBUNGAN DENGAN “BULEUN ACEH” SEPANJANG TAHUN

BULEUN ACEH sama jumlahnya dengan bulan-bulan dalam perhitungan tahun yang kita kenal selama ini, baik penanggalan Hijriyah maupun dalam perhitungan Masehi yaitu 12 bulan. Karena masyarakat Aceh sangat didominasi agama Islam, maka Buleun Aceh juga mengikuti menurut hitungan bulan Qamariyah, seperti yang dipunyai Islam. Bulan Qamariyah ialah bilangannya dihitung ketika waktu malam tiba. Demikian pula dengan Buleun Aceh, ia mulai dihitung waktu malam. Sedang perhitungan menurut versi tahun Masehi adalah dimulai ketika ( lewat tengah malam) atau saat matahari terbit menurut penuturan orang awam, jelasnya adalah diwaktu pagi. Karena dihitung harinya, maka dinamakan hitungan tahun Syamsiyah, Syamsiyah, artinya matahari (bahasa Arab).

Begitu pula dengan hitungan tahun Qamariyah, karena diwaktu malam sang bulan menjelma. Bulan dalam bahasa Arab disebut Qamar (Qamariyah).

Setiap tibanya bulan-bulan (buleun) dalam penanggalan Aceh, masyarakat Aceh memiliki kegiatan tertentu menurut bulan apa yang tiba itu. Nama-nama dari Buleun Aceh, yaitu : 1. Sausen, 2. Safa, 3. Maulod, 4. Adou Maulod, 5. Kumuen Maulod, 6. Buleun Boh Kayeei, 7. Buleun Apam, 8. Buleun Khanduri Bu, 9. Buleun Puasa, 10. Buleun Uroe Raya, 11. Buleun Beurapet, dan 12. Buleun Haji.

Perlu di jelaskan bahwa khusus bagi Buleun Boh Kayeei, ia mempunyai dua buah nama. Adakalanya disebut juga Buleun Maulod Siploh Uroe (bulan Maulid sepuluh hari), karena sepuluh hari dari permulaannya masih termasuk kedalam bulan Maulid yang jumlah seluruhnya 100 hari itu. Diantara kedua nama itu, maka sebutan Buleun Boh Kayeei sangat populer bagi masyarakat Aceh. Yang agak aneh, bahwa dalam masyarakat Aceh tidak pernah diperhitungkan tahunnya. Masyarakat Aceh hanya menghitung nama bulan dan hari keberapa dari bulan yang tengah dihadapi. Kalau kita bertanya pada masyarakat desa, tahun berapa sekarang ?. Jawaban yang kita peroleh adalah : hom hana lon tudum (tidak saya tahu tahun berapa sekarang), tapi kalau tentang nama bulan dan hari keberapa, oh mangat mantong (oh, mudah sekali) dengan lancar dijawab.

Keadaan yang demikian sering kita temui dikalangan orang awam,tapi dikalangan mereka yang berpendidikan (aneuk miet meudagang-santri) dan para ulama cerdik pandai (ureng patot-patot) mereka masih mengetahui jumlah tahunnya. Perhitungan tahun dalam Buleun Aceh adalah menurut perhitungan tahun Hijriyah, yaitu sudah mencapai bilangan 1401 Thon Aceh (tahun Aceh). Bagi masyarakat desa, mereka dalam melaksanakan suatu pekerjaan masih sangat terpengaruh dengan bilangan bulan ketika pekerjaan itu mau dilaksanakan. Disamping jumlah hari bulan, mereka sangat terikat pada hari apa kegiatannya mau dilakukan. Menurut mereka hari yang paling baik kita lakukan sesuatu pekerjaan adalah pada Uroe Seulanyan (Senin), Seulasa (Selasa) dan Uroe (Kamis). Jika pada hari lain kurang baik khasiatnya (uroe hana got). Sedangkan hari bulan yang paling baik membuat sesuatu adalah pada hari ke 14 dan 22 Buleun Aceh.

Karena itu tidaklah heran kalau masyarakat Aceh melangsungkan upacara perkawinan anaknya pada hari-hari itu. Biasanya, kalau upacara menikah (meugatib) dilakukan pada hari ke 14 (uroe buleun), sedang untuk hari peresmian perkawinan (Keurija meukawen) dilaksanakan pada hari ke 22 (bak dua ploh dua uroe buleun). Sering terjadi percakapan antara seorang ibu dengan jirannya begini: “hai meunurot neudeungo-deungo pajan meugatib sinyak” pulan’??? (Hai, menurut berita yang anda dengar kapan acara nikah si’polan’???. Kalau pertanyaan demikian, akan dijawab ibu yang lain; :meunurot haba gob peugah-peugah bak peut blaih uroe buleun (menurut penuturan orang akan berlangsung pada 14 hari bulan). Menurut penyelidikan penulis, kepercayaan masyarakat desa itu bersumber pada Kitab Tajul Muluk ataupun dari Kitab Mujarabat Jumlah kedua jenis kitab ini dimasa sekarang semakin berkurang. Dapat ditambahkan, bahwa kedua kitab tersebut menggunakan bahasa Melayu lama serta memakai tulisan Jawi (Arab-harah Jawoe).

Kegiatan Masyarakat.

Bulan pertama dari bulan Aceh adalah Buleuen Sausen(baca: Sa – Usen). Nama ini diambil dari nama cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Saidina Hasan dan Saidina Husen bin Ali r.a. Dalam alamanak/kalender hijriyah bulan Sausen ini disebut bulan Muharrram. Pada bulan Muharram inilah SAIDINA HUSEN syahid di Padang Karbala, negeri Kufah di wilayah Irak sekarang. Sungguh sedih nasib yang menimpa cucu Rasulullah ini, kepala beliau diceraikan musuh dari badannya, sedang jarinya yang pakai cincin dipotong untuk diambil cincinnya. Suatu peristiwa sedih bagi ummat Islam. Karena itulah bulan Muharram ini, oleh masyarakat Aceh disebutnya dengan buleun Sausen ; asalnya dari perkataan bulan Saidina Husen. Menurut penuturan orang-orang tua, bahwa di zaman dulu didaerah Gigieng Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, ada acara khusus diadakan tiap-tiap tahun untuk memperingati penganiayaan Saidina Husein. Acara khusus dalam bulan Sausen ini diadakan oleh kelompok masyarakat yang menganggap dirinya sebagai keturunan orang yang memotong jari Saidina Husein. Perlu dijelaskan, bahwa orang yang memotong itu, setelah sampai dirumah ia menyesali diri karena telah menganiayai cucu Nabi. Karena menyesal akhirnya ia jatuh sakit dan terus meninggal. Sebagai tanda tidak setuju dengan perbuatan endatu (nenek moyang) nya, maka keturunannya turut menunjukkan penyesalan pada setiap kali tibanya bulan Sausen ( Hasan – Husein ) setiap tahun. Sebulan penuh mereka berdiwana (berkelana) dari satu kampung kekampung lain untuk mengemis. Pakaian mereka compang- camping. Sedekah yang diperolehnya bukan untuk keperluan sendiri, tapi untuk amal sosial. Mereka mengadakan penghinaan buat dirinya dengan mengemis sebagai tanda penyesalan terhadap perbuatan a-moral dari endatunya. Sejak zaman Jepang acara Sausen itu tidak dibenarkan lagi.

Bulan kedua dari kalender Aceh, yaitu bulan Safa. Dalam alamak hijriyah disebut bulan Shafar. Dari dulu bahkan hingga sekarang upacara mandi Safar (manoe Safa) masih popular dalam masyarakat Aceh. Sejak masa permulaan kemerdekaan, upacara ini agak dihalang oleh golongan tertentu, karena dianggap perbuatan bid’ah. Karena itu upacara mandi safar di Aceh sekarang tidak semeriah dulu lagi. Mandi Safar dilakukan pada hari Rabu terakhir dalam buleun Safa. Ada diantara masyarakat yang sengaja datang ketepi laut untuk mandi Safa, ada yang mandi di sungai dan bahkan ada pula yang memadai saja di sumur disamping rumahnya.

Tujuan dari manoe Safa adalah untuk membuang malang atau naas. Sejumlah azimat ditanamkan di hulu sungai (pucok krueng). Berkat azimat itu diharapkan semua sial dan malang dihanyutkan air kelaut. Dalam bahasa Aceh, hari Rabu terakhir dari bulan Safa ini disebut Uroe Rabu Habeh (hari rabu penghabisan). Dimasa sekarang, upacara manoe Rabu habeh ini, sudah dianggap kurang memiliki sakral. Hanya dilakukan seperti piknik atau hanya sebagai rekreasi ketepi pantai saja, terutama bagi mereka yang tinggal dikota. Tapi bagi masyarakat desa, terutama generasi tua masih mempercayai dan melakukannya tiap tibanya uroe Rabu Abeh setiap bulan Safa. Banyak pantang larang yang dilakukan /dianggap masyarakat dalam bulan ini.

Tiga bulan berikutnya, yaitu Buleun Maulod, Adoe Maulod dan buleun Kumuen Maulod, boleh dikatakan mempunyai kegiatan yang sama. Dalam bulan-bulan Maulod ini masyarakat Aceh mengadakan khanduri maulid kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan maulid ini diadakan kapan saja, asal saja tidak lewat dari bulan Maulod yang seratus hari itu. Bagi masyarakat desa, khanduri maulid (malod) ini merupakan suatu peristiwa yang mesti dirayakan. Rasa-rasanya sudah sampai pada tingkat wajib ; tidak boleh tidak. Kalau belum panen, mereka berusaha meminjam pada dari orang kaya. Kalau kebetulan semua penduduk desa memang dalam keadaan panceklik, maka khanduri malod, juga diadakan secara makan bersama di Meunasah (surau di Aceh). Kalau mereka dalam masa makmur panen, jangan tanya, perayaan malod diadakan sangat meriah. Hidangan besar dibawa keluar dari tiap rumah diantarkan ke Meunasah. Hidangan itu bagian atasnya ditutupi dengan sange (tudung besar yang warna-warni) serta ditambah lagi dengan kain sutra. Hidang besar lagi tinggi disebut hidang santeut dong (hidang setinggi orang). Tamu yang akan menyantap di Meunasah adalah orang-orang yang telah diundang dari desa-desa sekitarnya. Mereka dijemput dengan ranup pate ujong on (sirih yang bersampul daun pisang layu). Sebelum mereka dipersilahkan makan khanduri, terlebih dahulu bershalla wale dan marhaban memuji atau mengisahkan sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. Pada masa sekarang acara berzanji dan marhaban ini semakin jarang diadakan. Para tamu hanya datang untuk makan khanduri.

Bulan yang ke 6 dari penanggalan Aceh adalah buleun Boh Kayeei. Tentang uraian Buleun Boh Kayeei ini, penulis hanya bicarakan secara singkat saja. Dinamakan buleun boh kayeei, karena dibulan tersebut adalah musim buah-buahan. Banyak macam buah-buahan menjadi masak ranum, sehingga dipasarpun banyak pedagang kaki lima yang mencari untung sebagai penjualnya. Sudah menjadi kepercayaan dalam masyarakat Aceh, bahwa bila dalam suatu tahun jumlah buah-buahan yang hasilnya melimpah-ruah, maka bila pak Tani bertanam pada atau berladang, maka hasilnya dapat dipastikan akan memuaskan. Air hujan akan turun dengan cukup, hama pengrusak tanaman tidak datang menganggu, maka otomatis hasil panen akan berlipat ganda.

Bila musim buah-buahan mulai tiba, hati para petani akan dag….dig…dug…, lantaran menunggu vonis terhadap rezeki mereka ditahun depan. Selama buah kayu belum masak, maka selama itu pula hati mereka tidak tenteram. Baru mereka senang, apabila putik buah-buahan itu banyak yang ketinggalan dari mengerti masalah pertanian secara modern. Perlu penulis tambahkan, bahwa akibat perobahan iklim yang terlalu besar dewasa ini, maka pada buleun Boh Kayeei tidak pasti lagi, musim buah-buahan tepat seperti masa dahulu. Orang berkata ; diakhir zaman, segalanya tak pasti.

Urutan ke tujuh adalah buleun Apam. Dalam bulan ini masyarakat Aceh mengadakan acara “khanduri Apam”. Apam ini dalam bahasa Indonesia disebut serabi. Bentuknya seperti kue samarinda. Khanduri Apam diberikan kepada jiran seluruh kampong dan sanak keluarga. Kalau di Kabupaten Pidie, acara tot Apam (memasak) Apam diadakan setiap rumah, baik secara perseorangan maupun secara berkelompok. Untuk lebih jelasnya, penulis persilakan anda membaca kembali Hr. WASPADA’ terbitan tgl. 29 Mei 1981 hlm populer dengan judul : Bila bulan Rajab Tiba : ‘Khanduri Apam” suatu tradisi dalam masyarakat Aceh.

Bulan ke 8 dalam bilangan Buleun Aceh disebut Buleun Khanduri bu. Khanduri Bu, artinya diadakan jamuan makan nasi. Khanduri itu biasa dilakukan pada malam ke 15 bulan tersebut. Malam itu disebut malam BEUREUAT.

Malam Beureuat disebut juga dengan malam Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Khanduri ini sebagai mengenang peristiwa lahirnya Nabi Ismail anak dari Nabi Ibrahim dari isteri beliau Siti Hajar. Kelahiran Nabi Ismail, merupakan peristiwa sedih dan mengharukan. Betapa tidak, Siti Hajar hanya sebatang kara dipadang pasir ketika melahirkan anaknya. Dalam bahasa Aceh terdapat sebait syair sbb : Malam Beureuat Nishfu Sya’ban. Ie mon Zamzam limpah ulua. Deungon bereukat neubri le Tuhan. Lahe disinan Ismael muda (Malam Beureuat pertengahan Sya’ban. Air sumur Zamzam memancar sendiri. Dengan berkat Tuhan berikan. Lahirlah disitu Nabi Ismail). Untuk mengenang kejadian itu masyarakat Aceh mengadakan kenduri. Tiap-tiap keluarga membawa satu keranjang (Raga mata puno) nasi serta satu hidang besar (saboh idang tutop ngon sange) lauknya. Seluruh masyarakat, yaitu orang laki-laki dan anak berkumpul di Meunasah untuk makan kenduri Beureuat (pajoh khanduri Beureuat). 0rang dari desa lain di undang pula.

Setelah selesai sedikit doa atau untuk para arwah dan untuk Rasul (doa keu areuwah dan keu panghuleei Rasulullah), maka khanduri itupun disantap bersama. Sampai saat sekarang khanduri Beureuat ini masih dilaksanakan masyarakat desa dalam daerah Aceh.

Yang ke 9 adalah bulan Puasa. Pada bulan ini, sebagaimana ummat Islam didaerah lain, maka masyarakat Acehpun berpuasa. Di setiap Meunasah diadakan adat Wot Ie Bu (masak bubur) setiap sore. Ie bu ini disamping untuk acara buka puasa bersama di Meunasah, juga untuk dibawa pulang kerumah sebagai tambahan bahan berbuka bagi keluarga. Sejak jam 4 (16 WIB) sore anak-anak telah mengerumuni si tukang masak Ie Bu. Mereka menantikan masaknya. Ie bu yang telah masak dituangkan ke dalam Tima Situek (timba upih pinang) yang sengaja dibawa anak-anak dari rumahnya. Satu acara lagi yang sangat menarik dalam bulan puasa di Aceh adalah Grop Tamat Daroih. Setiap kali mereka dapat menamatkan membaca Al Qur’an secara bersama-sama di Meunasah upacara khanduri Tamat Daroihpun diadakan. Pada malam khanduri itu mereka tidak membaca Al Qur’an seperti biasa, tetapi hanya mengadakan sedikit doa untuk menamatkan Al Qur’an. Selesai doa, mereka mengadakan acara lain, yaitu Grop Tamat Daroih. Acara itu dilakukan sambil menunggu tibanya khanduri, yang dibawa dari rumah Teungku Peutua (Imam desa). Cara melakukan Grop Tamat Daroih ini adalah sambil berpegangan tangan antara semua peserta. Kemudian mereka melompat-lompat dengan kaki diangkat serentak, hingga sangat merdu suaranya bila terinjak lantai Meunasah (Meusindrom aleu Meunasah). Kheeei…kheei..kheeeiiii….gramgrum…gramgrum.., sungguh serentak kaki yang dihentakkan kelantai, karena itu iramanya mengasyikkan. Nyayian bersama yang mereka bawa ketika itu antara lain: Ilahi ka Tamat kalam, beuj Quruan ka sampeueurna. Lethat pahla tabeuj Quruan, Tuhan bri kandran Blang Padang Masya (sekarang sudah tamat kalam, baca Al Qur’an telah sempurna. Banyak pahala baca Al Qur’an, Tuhan beri kenderaan di Padang Mahsyar hari akhirat) dst…dst.. Dan kadang-kadang mereka menyindir kepada Linto Baro (pengantin baru pria) yang tidak pernah datang ke Meunasah. Bunyinya: Linto Baro tan jak u Meunasah, ngon bak birah tapoh bak muka (Linto Baro yang tak pernah datang keu Meunasah, dengan pelepah keladi kita pukul dimukanya!. Ketika kanduri dibawa mereka berhenti melompat, dan terus santap.

Kesepuluh adalah Buleun Uroe Raya. Tidak ada kegiatan khusus yang jadi tradisi dibulan ini. Tapi bagi masyarakat Garot dan Gampong Arei, Kec. Delima, Kab. Pidie (Aceh) terdapat suatu kebiasaan yang telah menjadi adat. Masyarakat disana mengadakan peresmian perkawinan khusus pada buleun Uroe Raya ini. Karena pada bulan inilah keluarga mereka berkumpul semua. Pada bulan-bulan yang lain mereka berada dirantau orang. Masyarakat Garot dan Gampong Arei terkenal sebagai daerah pedagang. Mereka merantau ke seluruh Aceh atau di luar daerah. Kegemaran mereka membuka membuka usaha Warung Nasi (Meukat BU).

Yang kesebelas adalah Buleun Beurapet. Disebut bulan Beurapet, karena bulan ini diapit oleh dua kali hari Raya, yaitu hari Raya Puasa (Idil Fitri) dan hari Raya Haji (Idul Adha). Tiada kegiatan yang menonjol pada Buleun Beurapet ini. Dan terakhir sekali (ke 12) adalah buleun Haji. Sebagai menghormati umat Islam yang menunaikan Haji di Mekkah, masyarakat desa di Aceh mematuhi beberapa pantangan, yaitu tiga hari sebelum dan sesudah Hari Raya Haji sangat pantang kita memusuhi orang lain (mupake). Para petani tidak turun kesawah selama hari-hari pantangan itu. S e k i a n/.

( Catatan mutakhir:( 1.) Negeri Kuffah dan Padang Karbala bukanlah di Arab Saudi, melainkan di negara Irak – sekarang!. ( 2.) MTQ Nasional ke XII berlangsung di Banda Aceh tahun 1981 M. ( 3. ) Buleuen Sa-Usen diambil dari nama dua orang cucu Nabi Muhammad Saw, yakni Hasan dan Husein.
( 4. ). Khanduri Apam pada bulan Apam lebih banyak dilakukan masyarakat di kabupaten Pidie( 1981 ) dibanding wilayah lain di Aceh.
Bale Tambeh, 5 Desember 2010, T.A. Sakti).
SUMBER:


0 komentar:

Posting Komentar

Komentar FB :