Pages


Sabtu, 15 Juni 2013

SOALAN MASBUK SEUMBAHYANG



[Cibri jeunaweub beuna dalil yang jeut tamat hukom]
==========================================================
Assalamu’alaikum, haba mulaan
Wareh dan rakan, kaifa haluka
Pujoe ngon syukoe, meuwoe keu Tuhan
Keu Nabi khatam, Rahmat sijahtra

Nibak uroe nyoe, ca-e lon layang
Na persoalan, didalam rika
Lahee nyoe soai, teungoh seumbahyang
Masa jih meujan, Masbuk shalata

Takeudi ureueng, teulat geudatang
Seudang seumbahyang, teungoh laksana
Watee geugabong, jama’ah gob nyan
Ka geuduek imam, tawarok nama

Pakriban tanyoe, taduek masa nyan
Ci peugah rijang, wahee syedara
Komen neubri, dali sertakan
Nak jeut pegangan, ‘oh takeurija

Neubri komentar, bek seugan-seugan
Tuka pikiran, bhah meuguna
Nyang tem jaweub, Rahmat dari Tuhan
Mudah-mudahan, status nyoe meuguna

RINGKASAN PERTANYAAN :
(Geutanyoe MASBUK Jama’ah… Imum ka raka’at ke-4 geuduek TAWARUK, geutanyoe ban ta ikot taduek TAWARUK atawa taduek IFTIRASY (Duek Iftirasy = Duek Tahyet awai)?????)

Putik Panjoe Bacut Pendapat :

Dikatakan dalam Al-Iqna’ dan syarahnya Kasyful Qina’:
“Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.

Alhadi Andika Rasulullah juga bersabda:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا ...

"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam" (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Ikram Az-Zikri Khilafitah 'Ulama dalam masalah di ateuh :

Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduktawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.

Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut.

Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.

WALLAHU A'LAM

Akhbar Al-Mutawassila khe3x... bandum komen sangat bermanfaat... makeusud tapeugot status kon taneuk meudawa, cuma peusubra group seukalian na lah tuka wawasan... lon cuba simpulkan :

KESIMPULAN :
GEUYU SEUMBAHYANG LAGEE SEUMBAHYANG NABI (Hadist geupakek Fi’il Amar):
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari )

Peundapat kuat na dalam pendapat Imum Syafi'i :

Abu Humaid asalah sidroe perawi Hadist nyang merawikan beda duek bak akhe seumbahyang (Raka'at akhe) dengan duek lam seumbahyang yang kon duek bak raka'at akhe... Lafaui jih meng tapeu arti :
“Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”

Da n Hadist Abu Humaid nyoe adalah hadist yang memperjelas kelakuan seumbahyang Rasulullah pada banmandum geurakan Seumbahyang, seudangkan dalil teuntang hadist laen yg meu sumber dari ureung laen adalah hadist nyang meusifeut umum, hana lom terperinci...
________________________________________________________
NYANG TAIKOT JAMA’AH JIH, TAPUBUET LAGEE KEULAKUAN NABI KEURIJA : (Adak imum geuduek Tawaruk, geutanyoe Iftirasy)

HANA MANDUM DALAM SEUMBAHYANG JAMA'AH PAYAH LAKUKAN LAGEE IMUM KEURIJA
________________________________________________________

Saffir Kelana ALham dulillah pijo keurabbon...
Eleme keulon kametamah...
nyan ka jeulah ya adun lon..
Hana le rihoun hate lon susah...

Lage lon krija ata kabutoi...
jino rakan oi dali kanyata...
trimoggenaseh keu mandum komenta... Alhadi Andika , Raja agama, putiek panjoe...utama that keu Adun Akhbar Al-mutawassila...


Bottom of Form

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar FB :